Sunday, August 17, 2008

KELEMAHAN UNDANG-UNDANG PENGADILAN ANAK DI INDONESIA

Untuk mengakomodasi penyelenggaraan perlindungan hak anak dalam proses peradilan pidana di Indonesia, Pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-undang ini lahir untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Maka untuk itu baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai mengenai penyelenggaraan peradilan anak perlu dilakukan secara khusus.
Walaupun Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merupakan suatu langkah maju bagi perlindungan hak-hak anak dalam proses peradilan anak di Indonesia namun ada beberapa substansi dalam undang-undang tersebut menurut penulis mengandung kelemahan, yaitu :
Pertama, berkaitan dengan usia anak nakal. Dalam Pasal 1 angka 1 dinyatakan anak nakal adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai usia 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Menurut penulis batas usia anak tersebut harus diubah dari usia minimal 8 (delapan) tahun menjadi 12 (dua belas) tahun. Sebab pada usia tersebut anak-anak tidak bisa dipertanggungjawabkan di depan sidang peradilan anak atas tindak pidana yang dilakukannya akan tetapi harus melalui mekanisme tersendiri yang bertujuan untuk mengendalikan prilaku anak tersebut ke arah yang lebih baik.
Kedua, istilah anak nakal bagi anak yang melakukan tindak pidana. Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyebutkan istilah anak nakal bagi anak yang melakukan tindak pidana. Hal ini berbeda sekali dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan istilah anak yang berhadapan dengan hukum. Sebab, istilah anak nakal mengandung pengertian seseorang yang melakukan tindak pidana sama halnya dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Padahal anak yang melakukan tindak pidana berbeda halnya dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Anak yang melakukan tindak pidana juga merupakan korban dari lingkungan budaya tempat ia dibesarkan, untuk itu istilah anak nakal yang terdapat dalam UU tentang Pengadilan Anak harus diganti dengan istilah anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana yang terdapat dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Ketiga, penahanan terhadap anak nakal. Dalam pasal 44 ayat 6 (enam) dinyatakan penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di lingkungan Rumah Tahanan Negara, cabang Rumah Tahan Negara, atau di tempat tertentu. Menurut penulis, penahanan terhadap anak nakal tersebut seharusnya tidak menempatkannya pada Rumah Tahanan Negara tetapi menempatkannya pada panti-panti sosial yang disediakan oleh pemerintah dalam hal ini Depertemen Sosial. Sebab tujuan penahanan anak melalui panti-panti sosial adalah untuk mengadakan pembinaan terhadap anak tersebut sehingga menjadi anak yang baik dan berguna bagi bangsa dan negara negara di masa yang akan datang. Sedangkan penahanan anak melalui Rumah Tahanan Negara dikwatirkan akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental anak yang masih lemah dan rentan selain itu juga menimbulkan stigma yang jelek terhadap anak tersebut.
Keempat, struktur dan kedudukan peradilan anak. Dalam Pasal 2 UU Pengadilan Anak
dinyatakan Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan peradilan umum. Menurut penulis hendaknya peradilan anak itu menjadi badan peradilan yang secara struktur hukum maupun kedudukan sebagai lembaga peradilan yang berdiri sendiri di bawah Mahkamah Agung. Peradilan anak yang dikehendaki adalah peradilan yang berlangsung dari peradilan tingkat pertama, peradilan tingkat banding dan peradilan tingkat Mahkamah Agung sebagaimana layaknya fungsi peradilan yang ditentukan oleh hukum dan perundang-undnagan di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari tujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak itu sendiri. Dimana hakim yang mengadili sidang tindak pidana yang dilakukan oleh anak nakal harus mempunyai minat, perhatian dan dedikasi masalah anak.
Kelima, tidak adanya undang-undang yang secara khusus mengatur tentang hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum baik yang berkonflik dengan hukum maupun sebagai korban dari tindak pidana. Perlunya undang-undang yang secara khusus mengatur hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum karena hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum berbeda halnya dengan hak-hak orang dewasa yang berhadapan dengan hukum. Hal ini disebabkan tingkat kecakapan seorang anak berbeda dengan tingkat kecakapan orang dewasa dan secara lebih jauh ini akan membawa perbedaan pada motivasi anak untuk melakukan perbuatan yang melanggar hukum, dan juga tingkat kemampuan seorang anak untuk menjalani hukuman sebagai akibat dari pelanggaran hukum yang dilakukannya tersebut.
Keenam, tidak adanya pengaturan secara jelas alternatif penyelesaian masalah anak yang berkonflik dengan hukum melalui upaya diversi. Dalam upaya diversi ini Lembaga Kepolisian dapat menggunakan kewenangan diskresioner yang dimilikinya, antara lain tidak menahan anak akan tetapi menetapkan suatu tindakan berupa mengembalikan anak kepada orang tuanya atau menyerahkannya kepada negara. Pada tingkat penuntutan, upaya diversi tidak dapat dilakukan karena lembaga penuntutan tidak memiliki kewenangan diskresioner, sedangkan pada tingkatan pengadilan diversi terbatas pada tindakan pengadilan untuk tidak menjatuhkan pidana penjara atau kurungan. Untuk itu perlu adanya pengaturan tentang upaya diversi secara jelas baik pada tingkat Kepolisian, Kejaksaan maupun Pengadilan sehingga aparat kepolisian tidak menggunakannya kewenangannya itu sekehendak hatinya, tetapi berlandaskan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.
Ketujuh, tidak adanya pengaturan secara jelas tentang aturan penangkapan dan penahanan terhadap anak nakal. Dalam prakteknya penangkapan terhadap anak nakal disamakan dengan orang dewasa, yang membedakan hanya jangka waktu penahanan terhadap anak lebih singkat dari orang dewasa. Perlunya pengaturan secara jelas terhadap penangkapan dan penahanan terhadap anak agar lebih memberikan perlindungan yang maksimal terhadap anak dan terhindar dari perlakuan-perlakuan yang salah dari aparat penegak hukum.
Dari kelemahan-kelemahan UU Pengadilan Anak yang telah penulis kemukakan di atas maka Pemerintah harus segera merevisi UU tersebut untuk menciptakan suatu perangkat hukum yang memberikan perlindungan secara maksimal terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam proses peradilan pidana di Indonesia. Sebab sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, anak yang melakukan tindak pidana juga merupakan korban dari tindak pidana itu sendiri yaitu korban dari lingkungan budaya yang mengkondisikan anak melakukan tindak pidana itu.

NB: Penulis adalah Rozi, S.H., lulusan Fakultas Hukum Universitas Andalas Tahun 2007, sekarang bekerja di Kantor DPRD Kotamadya Padang Panjang. Tulisan ini pernah dipublikasikan di salah satu koran lokal di Kota Padang.


PENGAWASAN PERADILAN OLEH SUATU LEMBAGA DALAM MEWUJUDKAN LEMBAGA PERADILAN YANG BEBAS DARI KORUPSI

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud diatas dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK).
Namun pada kenyataannya, lembaga peradilan sebagai penegak keadilan yang menjalankan kekuasaan kehakiman tersebut, banyak mendapat kritikan dari masyarakat. Kritikan tersebut banyak diberikan terhadap buruknya kinerja dari aparat penegak hukum (law enforcement agencies) yang bertugas untuk memperjuangkan keadilan. Keadaan semacam ini dapat dilihat dari maraknya praktik judicial corruption di lembaga peradilan.
Keadaan seperti ini tidak dapat ditutupi lagi karena aparat penegak hukum tidak dapat membohongi masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari laporan hasil survey yang dilakukan oleh lembaga Transparancy International Indonesia (TII) mengenai lembaga negara terkorup yang dirilis pada awal desember tahun 2006 lalu. Dalam laporannya TII menyebutkan bahwa lembaga peradilan merupakan salah satu lembaga negara terkorup di Indonesia dengan indeks 4,2. Survei yang dilakukan oleh TII menggunakan skala 1–5.
TII menyimpulkan bahwa korupsi di lembaga peradilan Indonesia termasuk dalam kategori paling tinggi di antara negara-negara di dunia. Survei tersebut menyebutkan bahwa tiga dari sepuluh warga negara Indonesia melakukan suap untuk mendapatkan keadilan. Sehingga perkara yang ada di pengadilan banyak yang diperdagangkan untuk mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya oleh aparat penegak hukum.
Dengan kenyataan seperti ini maka fungsi dari hukum dalam pembangunan masyarakat tidak lagi sebagai sarana penegak pemeliharaan ketertiban dan keamanan, sarana pembangunan, sarana penegak keadilan, dan sarana pendidikan masyarakatb. Namun telah berubah menjadi sebagai sarana membela pihak yang bersedia memberi keuntungan materi kepada aparat penegak hukum.
Oleh karena itu, perlu dilakukan pengawasan yang menyeluruh terhadap lembaga peradilan itu sendiri. Pengawasan itu dapat dilakukan secara internal yang berasal dari dalam lembaga peradilan itu sendiri (internal control) maupun dari luar lembaga peradilan (external control). Internal control dilakukan oleh Mahkamah Agung dan di tiap-tiap tingkatan kewenangannya terletak pada ketua pengadilan.
Sedangkan eksternal control dilakukan oleh masyarakat dan tidak dilakukan oleh lembaga pemerintah. Salah satu bentuk external control yang dilakukan masyarakat adalah melalui mekanisme eksaminasi publik. Eksaminasi publik ini merupakan mekanisme pengawasan eksternal dalam rangka menilai atau menguji kembali proses pemeriksaan, pertimbangan hukum dari hakim sampai putusan pengadilan, terutama yang mengandung kontroversial. Namun pengawasan yang dilakukan secara internal dan eksternal tersebut tidak membuat lembaga peradilan di Indonesia berubah menjadi lebih baik.
Sebelumnya sudah ada suatu lembaga yang melakukan pengawasan terhadap peradilan khususnya terhadap hakim di Indonesia yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. Dimana dalam Pasal 20 UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial bahwa dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
Berdasarkan pasal di atas maka banyak hakim yang menjalankan tugasnya dengan hati-hati karena ada suatu lembaga yang melakukan pengawasan terhadap kinerja hakim. Namun, hal itu tidak berlangsung lama beberapa waktu kemudian 31 Hakim Agung mengajukan permohonan judicial revew terhadap pasal-pasal pengawasan hakim. Sehingga dengan alasan ketidakpastian hukum maka Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006 tentang Pengujian UU Nomor 22 Tahun 2004 dan Pengujian UU Nomor 4 Tahun 2004 terhadap UUD 1945, maka pasal-pasal pengawasan terhadap hakim dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Dengan adanya putusan tersebut menyebabkan Komisi Yudisial menjadi suatu lembaga yang kecil dan tidak mempunyai kekuatan dalam melakukan pengawasan terhadap hakim. Padahal pengawasan terhadap peradilan di Indonesia harus dilakukan oleh suatu lembaga eksternal yang mempunyai kekuatan hukum apabila terjadi penyelewengan yang dilakukan oleh para hakim, bukan oleh suatu lembaga swadaya masyarakat yang tidak mempunyai kekuatan hukum yang hanya bisaq melaporkan akan tetapi tidak bisa menindak secara hukum.
Pengawasan yang dilakukan secara internal yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Ketua Pengadilan di tiap-tiap tingkatan tidak menghasilkan perubahan yang berarti dalam menurunkan tingkat judicial corruption di Indonesia. Karena pengawasan secara internal berjalan tidak efektif dan dipengaruhi oleh rasa solidaritas untuk membela rekan sejawat (l’esprit de corps).
Oleh karena itu, dalam memberantas judicial corruption di lembaga peradilan di Indonesia, perlu dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial (UUKY) dengan memberikan kembali kewenangan pengawasan terhadap Komisi Yudisial dan bagaimana mekanisme pengawasan tersebut dilakukan dan sejauh mana pengawasan tersebut berlaku. Hal ini perlu dilakukan agar UU KY tidak bertentangan dengan UU yang lain dan UUD 1945, sehingga tidak dijadikan alasan judicial review lagi oleh para hakim agung.



Friday, August 15, 2008

HANYUT OLEH ARUS SUNGAI (Fenomena Artis Terjun ke Dunia Politik)

Sejak kemenangan Dede Yusuf menjadi pada Pilkada Jabar beberapa bulan yang lalu sebagai wakil gubernut, maka artis yang mencalonkan dirinya sebagai pejabat publik dan calon legislatif untuk pemilu tahun depan semakin banyak. Hal ini tentu suatu fenomena yang sangat menarik untuk ditelisik. Kenapa para artis yang sangat diidolakan oleh masyarakat tertarik untuk menjadi pejabat? Apakah karena mereka sudah pendapatan mereka sebagai artis tergerus karena banyaknya artis pendatang baru yang datang mengambil lahan penghidupan mereka? Ataukah karena panggilan hati mereka untuk memperbaiki nasib bangsa yang semakin terpuruk, sehingga mereka tertarik untuk menjadi pemimpin?. Allahu Alam.

Meminjam istilah seorang pakar hukum, fenomena banyak artis beramai-ramai yang ikut dalam kancah politik bagaikan hanyut dalam arus sungai yang besar. Bila mengikuti arus sungai yang besar belum tentu selamanya baik, karena arus sungai yang besar kemungkinan bisa mengakibatkan banjir, seperti yang terjadi di ibukota negara kita setiap tahunnya, yang tentunya merugikan warga ibukota.

Yang jadi pertanyaan apakah keikutsertaan para artis tersebut dapat mengakibatkan “banjir” yang dapat merugikan para warganya apabila terpilih menjadi pejabat? Allahu Alam.

Memang keikutsertaan para artis dalam pilkada dan pemilu yang akan datang merupakan hak dari setiap warga negara, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 D UUD 1945 Bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Namun setiap hak tentunya mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan. Kewajiban seorang pemimpin adalah tentunya membimbing yang dipimpin. Dalam melakukan kepemimpinan tersebut, baik sebagai bupati, gubernur, dan pejabat lainnya, tentu harus mempunyai kualifikasi tertentu.

Dalam sebuah talk show di Radio Trijaya FM, Ikang Fawzi menyatakan bahwa bila seorang artis mencalonkan diri sebagai seorang pejabat publik maka ia harus mempunyai tiga syarat utama, yakni pendidikan yang baik, pengalaman sebagai pemimpin, dan tindakan nyata yang telah dilakukan. Dalam hal ini saya setuju, tidak hanya harus artis, tetapi juga bagi calon pejabat yang bukan berlatar belakang artis juga harus memenuhi syarat ini.

Akhirnya, sekarang terserah kepada masyarakat untuk dapat memilih pemimpin mereka secara rasional yang bukan melihat wajah ganteng atau cantik, keturunan, dan suku. Sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat itu sendiri, apakah artis atau bukan artis itu tidak penting, yang penting adalah dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.