Sunday, August 17, 2008

PENGAWASAN PERADILAN OLEH SUATU LEMBAGA DALAM MEWUJUDKAN LEMBAGA PERADILAN YANG BEBAS DARI KORUPSI

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud diatas dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK).
Namun pada kenyataannya, lembaga peradilan sebagai penegak keadilan yang menjalankan kekuasaan kehakiman tersebut, banyak mendapat kritikan dari masyarakat. Kritikan tersebut banyak diberikan terhadap buruknya kinerja dari aparat penegak hukum (law enforcement agencies) yang bertugas untuk memperjuangkan keadilan. Keadaan semacam ini dapat dilihat dari maraknya praktik judicial corruption di lembaga peradilan.
Keadaan seperti ini tidak dapat ditutupi lagi karena aparat penegak hukum tidak dapat membohongi masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari laporan hasil survey yang dilakukan oleh lembaga Transparancy International Indonesia (TII) mengenai lembaga negara terkorup yang dirilis pada awal desember tahun 2006 lalu. Dalam laporannya TII menyebutkan bahwa lembaga peradilan merupakan salah satu lembaga negara terkorup di Indonesia dengan indeks 4,2. Survei yang dilakukan oleh TII menggunakan skala 1–5.
TII menyimpulkan bahwa korupsi di lembaga peradilan Indonesia termasuk dalam kategori paling tinggi di antara negara-negara di dunia. Survei tersebut menyebutkan bahwa tiga dari sepuluh warga negara Indonesia melakukan suap untuk mendapatkan keadilan. Sehingga perkara yang ada di pengadilan banyak yang diperdagangkan untuk mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya oleh aparat penegak hukum.
Dengan kenyataan seperti ini maka fungsi dari hukum dalam pembangunan masyarakat tidak lagi sebagai sarana penegak pemeliharaan ketertiban dan keamanan, sarana pembangunan, sarana penegak keadilan, dan sarana pendidikan masyarakatb. Namun telah berubah menjadi sebagai sarana membela pihak yang bersedia memberi keuntungan materi kepada aparat penegak hukum.
Oleh karena itu, perlu dilakukan pengawasan yang menyeluruh terhadap lembaga peradilan itu sendiri. Pengawasan itu dapat dilakukan secara internal yang berasal dari dalam lembaga peradilan itu sendiri (internal control) maupun dari luar lembaga peradilan (external control). Internal control dilakukan oleh Mahkamah Agung dan di tiap-tiap tingkatan kewenangannya terletak pada ketua pengadilan.
Sedangkan eksternal control dilakukan oleh masyarakat dan tidak dilakukan oleh lembaga pemerintah. Salah satu bentuk external control yang dilakukan masyarakat adalah melalui mekanisme eksaminasi publik. Eksaminasi publik ini merupakan mekanisme pengawasan eksternal dalam rangka menilai atau menguji kembali proses pemeriksaan, pertimbangan hukum dari hakim sampai putusan pengadilan, terutama yang mengandung kontroversial. Namun pengawasan yang dilakukan secara internal dan eksternal tersebut tidak membuat lembaga peradilan di Indonesia berubah menjadi lebih baik.
Sebelumnya sudah ada suatu lembaga yang melakukan pengawasan terhadap peradilan khususnya terhadap hakim di Indonesia yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. Dimana dalam Pasal 20 UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial bahwa dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
Berdasarkan pasal di atas maka banyak hakim yang menjalankan tugasnya dengan hati-hati karena ada suatu lembaga yang melakukan pengawasan terhadap kinerja hakim. Namun, hal itu tidak berlangsung lama beberapa waktu kemudian 31 Hakim Agung mengajukan permohonan judicial revew terhadap pasal-pasal pengawasan hakim. Sehingga dengan alasan ketidakpastian hukum maka Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006 tentang Pengujian UU Nomor 22 Tahun 2004 dan Pengujian UU Nomor 4 Tahun 2004 terhadap UUD 1945, maka pasal-pasal pengawasan terhadap hakim dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Dengan adanya putusan tersebut menyebabkan Komisi Yudisial menjadi suatu lembaga yang kecil dan tidak mempunyai kekuatan dalam melakukan pengawasan terhadap hakim. Padahal pengawasan terhadap peradilan di Indonesia harus dilakukan oleh suatu lembaga eksternal yang mempunyai kekuatan hukum apabila terjadi penyelewengan yang dilakukan oleh para hakim, bukan oleh suatu lembaga swadaya masyarakat yang tidak mempunyai kekuatan hukum yang hanya bisaq melaporkan akan tetapi tidak bisa menindak secara hukum.
Pengawasan yang dilakukan secara internal yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Ketua Pengadilan di tiap-tiap tingkatan tidak menghasilkan perubahan yang berarti dalam menurunkan tingkat judicial corruption di Indonesia. Karena pengawasan secara internal berjalan tidak efektif dan dipengaruhi oleh rasa solidaritas untuk membela rekan sejawat (l’esprit de corps).
Oleh karena itu, dalam memberantas judicial corruption di lembaga peradilan di Indonesia, perlu dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial (UUKY) dengan memberikan kembali kewenangan pengawasan terhadap Komisi Yudisial dan bagaimana mekanisme pengawasan tersebut dilakukan dan sejauh mana pengawasan tersebut berlaku. Hal ini perlu dilakukan agar UU KY tidak bertentangan dengan UU yang lain dan UUD 1945, sehingga tidak dijadikan alasan judicial review lagi oleh para hakim agung.



No comments: